Ayie menatap pohon di hadapannya. Dia tersenyum tipis lalu menghela nafas dalam. Sudah 20 tahun, tidak terasa, pohon itu kini tumbuh besar, berdahan kokoh dan berdaun rimbun. Angin berhembus, terasa sejuk membelai seluruh tubuh dan melambaikan rambut Ayie, namun sesuatu yang hangat menyentuh relung hatinya, dia teringat ke masa 20 tahun lalu ketika pohon itu di tanam. Ayie kembali tersenyum tipis, namun ada yang menyesak di dadanya.
“Hei, kamu kesini!”
“Apaan sih kak?”
“Apaan sih kak, apaan sih kak!? Kamu sedari tadi ngapain aja?”
“Bantu nanam pohon.”
“Bantu nanam pohon? Apa yang kau bantu?”
Gadis kecil itu menggaruk kepalanya. “Pokoknya bantu deh.”
“Mana pohon yang kamu tanam sendiri?”
“Ya… belum ada, dari tadi cuma bantu kak.”
“Kakak lihat kamu dari tadi hanya main tanah, cekikikan gak jelas, dimana letak bantuan kamu?”
“Kan aku buat yang lain tertawa, itung-itung ngilangin stress mereka karena harus nanam pohon.”
Kristo melongo. Wajah polos dihadapannya mengatakannya dengan sungguh-sungguh. “Kamu tahu, ke sini buat apa?”
“Nanam pohon.”
“Masing-masing minimal 1, nah apa kamu…”
“Ada apa Kris?”
“Ini, sedari tadi aku lihat dia ngajak yang lainnya ketawa-ketawa gak jelas, dia Rapala dari sekolah mana sih?”
“Sori bos, ini adek aku, my sista yang paling manis sedunia, dia bukan anggota Rapala, tadi sengaja kuajak kemari, kasihan, liburan di rumah aja.”
Kristo menatap gadis kecil yang cemberut itu. Lalu menatap Niko. “Kok gak mirip?”
“Ya sudahlah gak penting, Yik, bantuin kakak nanam pohon di sebelah sana.” Niko merangkul Ayie lalu mengajaknya menuju bagian selatan perbukitan yang gundul itu
“Ok my brother.”
Kristo menggedikkan bahunya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling perbukitan, sudah setengahnya ditanam bibit pohon yang diharap dapat tumbuh dengan baik, hingga kembali menghijaukan dan menyejukkan kawasan perbukitan itu.
“Kristo!”
Kristo menoleh. Dia tersenyum. Anastasia.
“Ya Nas?”
“Kita tanam pohon berdua yuk, di sebelah selatan sana.”
Kristo mengangguk, lalu mengikuti langkah kekasih hatinya itu.
“Cukup, udah cukup dalam.” Ucap Anastasia. Kristo berhenti menggali.
“Semoga pohon ini tumbuh dengan baik, seperti cinta kita.”
“Tanda cintamu padaku, cintaku padamu, dan cinta kita pada alam. Semoga pohon ini tumbuh baik, menghiasi alam dan menyejukkan bumi. Juga cinta kita.” Tambah Kristo.
Anastasia tersenyum. “Amin!” Lalu dia memasukkan bibit pohon itu ke dalam lubang yang telah dibuat Kristo tadi. Sambil tersenyum mereka berdua mulai menutup lubang itu dengan tanah.
“Hei, melamunkan apa?”
Kristo menggeleng.
“Dari tadi senyum-senyum gak jelas, kamu kesambet?”
Kristo tertawa. “Kamu tahu, setiap kita mengadakan penghijauan seperti ini, aku teringat sesuatu.”
“Sesuatu atau seseorang?”
“Sebuah kenangan.”
“Kenangan indah tentunya?”
“Sebagian, sebagian lagi kenangan sedih.”
Valent menatap Kristo tak mengerti.
“Tentang siapa?”
Kristo hanya tersenyum. Matanya menerawang jauh ke atas bukit yang gersang itu.
“Hi…. Cacing nih.”
“Gak takut! Gak takut!”
“Kakak lempar!”
“Kiya…!” Ayie berlari mundur menghindari lemparan cacing Niko.
“Aw!” Tanpa sadar dia menabrak seseorang yang sedang menanam bibit pohon.
Gedebuk!
“Aw!” Keluh Ayie.
“Yik, kamu gak apa-apa?” Niko mendekati Ayie dan mebantunya berdiri.
“Gak papa kak.” Ujar Ayie sambil membersihkan tanah di celananya. “Maaf!” Desisnya pada orang yang sempat tertimpa tubuhnya sebelum terguling ke tanah.
“Kristo, pohon kita!”
Ayie melompat karena terkejutnya mendengar jeritan itu.
“A…, hancur deh!”
“Ups, sori!” Seru Ayie, tak sadar dia menginjak pohon yang setengah hancur kena timpa tubuhnya tadi. Bibit itu kini terkulai.
Kristo berdiri kesal menatap Niko.
“Sori prend, sori, adik ku kan gak sengaja!”
“Sengaja atau enggak, dia sudah merusak satu bakal yang akan menjadi pohon besar! Apalagi itu pohon cinta kita berdua!”
“Kan aku udah minta maaf!” Ayie menutup mulutnya ketika 2 pasang mata itu melotot kepadanya. “Sudah rusak juga kan, mau bilang apa?” Desisnya lagi membuat 2 pasang mata itu semakin melotot.
“Udah-udah, sori banget, ini salah aku, tadi aku ngajak adikku bercanda. Maaf ya, udah merusak pohon cinta kalian.”
“Bukan hanya itu! Kamu beneran pecinta alam gak sih? Ngajak balita yang gak ngerti apa-apa kemari? Kamu sudah mematikan satu bibit pohon rindang!”
“Lebih dari sekedar itu! Lihat aja, kalau ada apa-apa dengan cinta kami, kalian tanggung jawab!”
“Nas, Anas, tunggu! H…, Nik, kita perlu bicara nanti! Makanya kalau lagi nanam pohon, Jangan ngajak balita!” Kristo berlari mengajar Anastasia.
:Ii…, berlebihan banget sih?” Gerutu Ayie.
“Kita memang salah sistaku!!!” Niko mencubit pipi Ayie sambil menatap bibit pohon yang sudah setengah rusak itu.
“Lagian, mereka over romantic begitu sih?!! Pohon cinta! Apaan!? Kebanyakan baca novel romantis atau melodrama gitu kayaknya! Hu…, katanya pecinta alam, biasanya jiwanya kuat, survive, tegar, ya kok karena begitu aja cewek tadi mewek! Hah, ngatain aku balita lagi! Umur aku udah 13, udah akil balik lagi! Lagipula siapa bilang anak kecil gak usah diajak nanam pohon, malah harus mulai diajari sejak dini, tul gak brother? Siapa sih dia, kok ngatur banget?”
Niko tertawa melihat gaya Ayik yang bicara sambil mengacung-acungkan tangannya bak orator ulung. “Dia ketua Rapala sekotamadya.”
“Huh, ketua, tapi hatinya kok so romantic bikin mual begitu?”
“Tetap aja kita salah Ayie..k! Diluar masalah mereka yang over romantic itu, kita udah merusak 1 masa depan pohon!”
“Ya kan nggak sengaja!”
“Sengaja atau nggak, tetap aja kita salah! Ya udah, kakak ke camp dulu, kamu terserah deh ngapain, tapi awas, jangan ngerusak pohon lagi!”
“Ia ia, aku tahu!”
Ayie menatap bibit yang sudah terkulai itu. “Belum rusak-rusak amat.” Desisnya lalu jongkok. Dipetiknya daun-daun yang setengah hancur kena injak kakinya tadi. Lalu dicobanya kembali menanam bibit itu. Menggemburkan tanah, lalu memasukkan kembali bibit itu ke dalam lubang. Ayie memadatkan tanahnya kembali.
“Hei pohon, tumbuh dong, jadilah pohon yang kuat, berdaun rindang, ya meski aku sempat melukaimu, ya maaf ya! Gak sengaja! Jangan marah! Itung-itung nolong 2 manusia yang sok romantic habis tadi. Katanya nasib cinta mereka tergantung kamu! Gak masuk akal sih, tapi tolong ya, tumbuh dengan baik!” Bisik Ayie sambil menepuk tanah di sekitar bibit pohon itu.
To be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar