“Apa itu cinta, sejenis makanan ringan?” Dengus Agita sinis.
“Jangan sinis gitu dong Ag, namanya juga cinta itu buta.”
“Hei, siapa bilang cinta itu buta? Cinta itu punya mata tahu nggak sih, kalau enggak…”
“Sudah-sudah, kok jadi sengit sih?” Potong Rifka.
“Tau tuh, belum pernah jatuh cinta sih!” Sungut Katty. Agita cemberut.
“Sudahlah Git, biarin aja dia seperti itu!” Wita buka suara.
“Kan sesama teman wajib menasehati. Aku heran, apa karena cinta Efa nggak bisa berpikir sehat?” Agita tak habis pikir bagaimana Efa lebih mementingkan ketemu Rifan pacarnya, daripada sekolah. Karena cinta ? Apaan!? Gerutu Agita dalam hati.
“Kalau Rifan memang cinta sama Efa, dia nggak akan suka maksa Efa sering bolos biar mereka bisa ketemuan. Seharusnya dia tahu apa yang baik buat orang yang dicintainya.”
Mendengar ucapan Agita, ketiga temannya senyum-senyum.
“Hei, apa yang salah dengan ucapanku !” Bentaknya.
“Sok tua banget sih ngomongnya Git. Eh kalau suatu hari kau merasakan yang namanya cinta, pasti ngerti.” Ujar Katty yang paling mentolerir tindakan Efa.
“Eh biar aku nanti jatuh cinta atau apa namanya, masih tetap berpikir waras, tau!”
“Ya, sekarang bisa bilang begitu, nanti kalau udah ngerasain sendiri…”
“Kenapa?!” Bentak Agita memotong ucapan Wita.
“Nggak…” Desis Wita menahan senyumnya. Agita sudah persis nenek ceriwis yang mengkhawatirkan cucunya.
“Aku pernah suka sama seseorang, tapi nggak begitu.”
“Oh Tuan Putri sudah pernah jatuh cinta, sama siapa? Aduh pengen tahu siapa orang malang itu?” Goda Katty. Agita hampir membalas ledekan Katty ketika Rifka angkat suara. Seperti biasa Rifka memang selalu jadi penengah dan apa yang diucapkannya dituruti teman-temannya.
“Sudah, kok jadi kita yang ribut, sementara yang diributin malah lagi senang-senang.”
“Habis, Agita sih sengit banget.” Celetuk Wita.
“Ya, karena aku sayang sama Efa, tapi sudahlah aku nggak mau mengerjakan tugasnya.”
“Nggak ada yang suruh kan Ag? Yang paling rajin mengerjakan tugas Efa kan kamu.” Ujar Rifka.
“Sekarang aku sadar, itu yang buat dia nyantai dan nggak merasa bersalah kalau bolos.”
“Kita juga udah niat kok nggak mau mengerjakan tugas-tugas Efa, biar di tahu rasa sekali-sekali. Tapi…Ag, jangan sinis dong sama yang namanya cinta. Kena batunya baru tahu rasa.” Nasehat Katty.
“Ya deh, kamu memang ahli kalau urusan cinta.” Ujar Agita cemberut.
”Efa bolos lagi hari ini?” Tanya Esar pada Rifka pada saat pulang Sekolah. Rumah mereka searah dan tidak jauh dari sekolah, jadi hampir tiap hari mereka pulang sama-sama meski tak sekelas.
“Kok tahu?”
“Dari tadi aku lihat Agita uring-uringan.”
Rifka tertawa. “Agita uring-uringan kan biasa, malah kalau dalam sehari nggak uring-uringan bukan Agita namanya.”
“Uring-uringannya lain, nah kalau aku perhatikan, dia uring-uringan seperti tadi, pasti karena Efa bolos.”
Rifka menatap Esar sebentar, lalu tertawa kecil. “Kamu suka merhatiin Agita ya?”
Ditanya begitu Esar cuma nyengir.
“Kamu suka sama Agita?”
“Ya…, seperti itulah.”
“Seperti ya, tapi aku bilang selamat berjuang, semoga bisa menaklukkan hati Tuan Putri! Aku diluan ya” Kelakar Rifka sebelum masuk kedalam rumahnya. Esar lagi-lagi cuma bisa nyengir. Rifka benar, nggak mudah mendekati Agita. Tapi meski suka uring-uringan dan sedikit jutek, pada dasarnya anaknya baik
“Halo?” Rifka mengangkat telepon yang dari tadi berdering dengan malas.
“Halo Rif, Efa nih, ada tugas nggak?”
“Kamu! Ganggu tidur siang orang aja, eh Fa, biar ada tugas, kerjakan sendiri, sebentar lagi Ujian Akhir, Rifan nggak pernah ngingatin itu ya?” Ujar Rifka lalu menutup telepon lalu menuju kamarnya melanjutkan tidur siangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar