Rabu, 03 Maret 2010
Cinta part I
“Jangan sinis gitu dong Ag, namanya juga cinta itu buta.”
“Hei, siapa bilang cinta itu buta? Cinta itu punya mata tahu nggak sih, kalau enggak…”
“Sudah-sudah, kok jadi sengit sih?” Potong Rifka.
“Tau tuh, belum pernah jatuh cinta sih!” Sungut Katty. Agita cemberut.
“Sudahlah Git, biarin aja dia seperti itu!” Wita buka suara.
“Kan sesama teman wajib menasehati. Aku heran, apa karena cinta Efa nggak bisa berpikir sehat?” Agita tak habis pikir bagaimana Efa lebih mementingkan ketemu Rifan pacarnya, daripada sekolah. Karena cinta ? Apaan!? Gerutu Agita dalam hati.
“Kalau Rifan memang cinta sama Efa, dia nggak akan suka maksa Efa sering bolos biar mereka bisa ketemuan. Seharusnya dia tahu apa yang baik buat orang yang dicintainya.”
Mendengar ucapan Agita, ketiga temannya senyum-senyum.
“Hei, apa yang salah dengan ucapanku !” Bentaknya.
“Sok tua banget sih ngomongnya Git. Eh kalau suatu hari kau merasakan yang namanya cinta, pasti ngerti.” Ujar Katty yang paling mentolerir tindakan Efa.
“Eh biar aku nanti jatuh cinta atau apa namanya, masih tetap berpikir waras, tau!”
“Ya, sekarang bisa bilang begitu, nanti kalau udah ngerasain sendiri…”
“Kenapa?!” Bentak Agita memotong ucapan Wita.
“Nggak…” Desis Wita menahan senyumnya. Agita sudah persis nenek ceriwis yang mengkhawatirkan cucunya.
“Aku pernah suka sama seseorang, tapi nggak begitu.”
“Oh Tuan Putri sudah pernah jatuh cinta, sama siapa? Aduh pengen tahu siapa orang malang itu?” Goda Katty. Agita hampir membalas ledekan Katty ketika Rifka angkat suara. Seperti biasa Rifka memang selalu jadi penengah dan apa yang diucapkannya dituruti teman-temannya.
“Sudah, kok jadi kita yang ribut, sementara yang diributin malah lagi senang-senang.”
“Habis, Agita sih sengit banget.” Celetuk Wita.
“Ya, karena aku sayang sama Efa, tapi sudahlah aku nggak mau mengerjakan tugasnya.”
“Nggak ada yang suruh kan Ag? Yang paling rajin mengerjakan tugas Efa kan kamu.” Ujar Rifka.
“Sekarang aku sadar, itu yang buat dia nyantai dan nggak merasa bersalah kalau bolos.”
“Kita juga udah niat kok nggak mau mengerjakan tugas-tugas Efa, biar di tahu rasa sekali-sekali. Tapi…Ag, jangan sinis dong sama yang namanya cinta. Kena batunya baru tahu rasa.” Nasehat Katty.
“Ya deh, kamu memang ahli kalau urusan cinta.” Ujar Agita cemberut.
”Efa bolos lagi hari ini?” Tanya Esar pada Rifka pada saat pulang Sekolah. Rumah mereka searah dan tidak jauh dari sekolah, jadi hampir tiap hari mereka pulang sama-sama meski tak sekelas.
“Kok tahu?”
“Dari tadi aku lihat Agita uring-uringan.”
Rifka tertawa. “Agita uring-uringan kan biasa, malah kalau dalam sehari nggak uring-uringan bukan Agita namanya.”
“Uring-uringannya lain, nah kalau aku perhatikan, dia uring-uringan seperti tadi, pasti karena Efa bolos.”
Rifka menatap Esar sebentar, lalu tertawa kecil. “Kamu suka merhatiin Agita ya?”
Ditanya begitu Esar cuma nyengir.
“Kamu suka sama Agita?”
“Ya…, seperti itulah.”
“Seperti ya, tapi aku bilang selamat berjuang, semoga bisa menaklukkan hati Tuan Putri! Aku diluan ya” Kelakar Rifka sebelum masuk kedalam rumahnya. Esar lagi-lagi cuma bisa nyengir. Rifka benar, nggak mudah mendekati Agita. Tapi meski suka uring-uringan dan sedikit jutek, pada dasarnya anaknya baik
“Halo?” Rifka mengangkat telepon yang dari tadi berdering dengan malas.
“Halo Rif, Efa nih, ada tugas nggak?”
“Kamu! Ganggu tidur siang orang aja, eh Fa, biar ada tugas, kerjakan sendiri, sebentar lagi Ujian Akhir, Rifan nggak pernah ngingatin itu ya?” Ujar Rifka lalu menutup telepon lalu menuju kamarnya melanjutkan tidur siangnya.
Pohon (tanda) Cinta Part I
“Hei, kamu kesini!”
“Apaan sih kak?”
“Apaan sih kak, apaan sih kak!? Kamu sedari tadi ngapain aja?”
“Bantu nanam pohon.”
“Bantu nanam pohon? Apa yang kau bantu?”
Gadis kecil itu menggaruk kepalanya. “Pokoknya bantu deh.”
“Mana pohon yang kamu tanam sendiri?”
“Ya… belum ada, dari tadi cuma bantu kak.”
“Kakak lihat kamu dari tadi hanya main tanah, cekikikan gak jelas, dimana letak bantuan kamu?”
“Kan aku buat yang lain tertawa, itung-itung ngilangin stress mereka karena harus nanam pohon.”
Kristo melongo. Wajah polos dihadapannya mengatakannya dengan sungguh-sungguh. “Kamu tahu, ke sini buat apa?”
“Nanam pohon.”
“Masing-masing minimal 1, nah apa kamu…”
“Ada apa Kris?”
“Ini, sedari tadi aku lihat dia ngajak yang lainnya ketawa-ketawa gak jelas, dia Rapala dari sekolah mana sih?”
“Sori bos, ini adek aku, my sista yang paling manis sedunia, dia bukan anggota Rapala, tadi sengaja kuajak kemari, kasihan, liburan di rumah aja.”
Kristo menatap gadis kecil yang cemberut itu. Lalu menatap Niko. “Kok gak mirip?”
“Ya sudahlah gak penting, Yik, bantuin kakak nanam pohon di sebelah sana.” Niko merangkul Ayie lalu mengajaknya menuju bagian selatan perbukitan yang gundul itu
“Ok my brother.”
Kristo menggedikkan bahunya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling perbukitan, sudah setengahnya ditanam bibit pohon yang diharap dapat tumbuh dengan baik, hingga kembali menghijaukan dan menyejukkan kawasan perbukitan itu.
“Kristo!”
Kristo menoleh. Dia tersenyum. Anastasia.
“Ya Nas?”
“Kita tanam pohon berdua yuk, di sebelah selatan sana.”
Kristo mengangguk, lalu mengikuti langkah kekasih hatinya itu.
“Cukup, udah cukup dalam.” Ucap Anastasia. Kristo berhenti menggali.
“Semoga pohon ini tumbuh dengan baik, seperti cinta kita.”
“Tanda cintamu padaku, cintaku padamu, dan cinta kita pada alam. Semoga pohon ini tumbuh baik, menghiasi alam dan menyejukkan bumi. Juga cinta kita.” Tambah Kristo.
Anastasia tersenyum. “Amin!” Lalu dia memasukkan bibit pohon itu ke dalam lubang yang telah dibuat Kristo tadi. Sambil tersenyum mereka berdua mulai menutup lubang itu dengan tanah.
“Hei, melamunkan apa?”
Kristo menggeleng.
“Dari tadi senyum-senyum gak jelas, kamu kesambet?”
Kristo tertawa. “Kamu tahu, setiap kita mengadakan penghijauan seperti ini, aku teringat sesuatu.”
“Sesuatu atau seseorang?”
“Sebuah kenangan.”
“Kenangan indah tentunya?”
“Sebagian, sebagian lagi kenangan sedih.”
Valent menatap Kristo tak mengerti.
“Tentang siapa?”
Kristo hanya tersenyum. Matanya menerawang jauh ke atas bukit yang gersang itu.
“Hi…. Cacing nih.”
“Gak takut! Gak takut!”
“Kakak lempar!”
“Kiya…!” Ayie berlari mundur menghindari lemparan cacing Niko.
“Aw!” Tanpa sadar dia menabrak seseorang yang sedang menanam bibit pohon.
Gedebuk!
“Aw!” Keluh Ayie.
“Yik, kamu gak apa-apa?” Niko mendekati Ayie dan mebantunya berdiri.
“Gak papa kak.” Ujar Ayie sambil membersihkan tanah di celananya. “Maaf!” Desisnya pada orang yang sempat tertimpa tubuhnya sebelum terguling ke tanah.
“Kristo, pohon kita!”
Ayie melompat karena terkejutnya mendengar jeritan itu.
“A…, hancur deh!”
“Ups, sori!” Seru Ayie, tak sadar dia menginjak pohon yang setengah hancur kena timpa tubuhnya tadi. Bibit itu kini terkulai.
Kristo berdiri kesal menatap Niko.
“Sori prend, sori, adik ku kan gak sengaja!”
“Sengaja atau enggak, dia sudah merusak satu bakal yang akan menjadi pohon besar! Apalagi itu pohon cinta kita berdua!”
“Kan aku udah minta maaf!” Ayie menutup mulutnya ketika 2 pasang mata itu melotot kepadanya. “Sudah rusak juga kan, mau bilang apa?” Desisnya lagi membuat 2 pasang mata itu semakin melotot.
“Udah-udah, sori banget, ini salah aku, tadi aku ngajak adikku bercanda. Maaf ya, udah merusak pohon cinta kalian.”
“Bukan hanya itu! Kamu beneran pecinta alam gak sih? Ngajak balita yang gak ngerti apa-apa kemari? Kamu sudah mematikan satu bibit pohon rindang!”
“Lebih dari sekedar itu! Lihat aja, kalau ada apa-apa dengan cinta kami, kalian tanggung jawab!”
“Nas, Anas, tunggu! H…, Nik, kita perlu bicara nanti! Makanya kalau lagi nanam pohon, Jangan ngajak balita!” Kristo berlari mengajar Anastasia.
:Ii…, berlebihan banget sih?” Gerutu Ayie.
“Kita memang salah sistaku!!!” Niko mencubit pipi Ayie sambil menatap bibit pohon yang sudah setengah rusak itu.
“Lagian, mereka over romantic begitu sih?!! Pohon cinta! Apaan!? Kebanyakan baca novel romantis atau melodrama gitu kayaknya! Hu…, katanya pecinta alam, biasanya jiwanya kuat, survive, tegar, ya kok karena begitu aja cewek tadi mewek! Hah, ngatain aku balita lagi! Umur aku udah 13, udah akil balik lagi! Lagipula siapa bilang anak kecil gak usah diajak nanam pohon, malah harus mulai diajari sejak dini, tul gak brother? Siapa sih dia, kok ngatur banget?”
Niko tertawa melihat gaya Ayik yang bicara sambil mengacung-acungkan tangannya bak orator ulung. “Dia ketua Rapala sekotamadya.”
“Huh, ketua, tapi hatinya kok so romantic bikin mual begitu?”
“Tetap aja kita salah Ayie..k! Diluar masalah mereka yang over romantic itu, kita udah merusak 1 masa depan pohon!”
“Ya kan nggak sengaja!”
“Sengaja atau nggak, tetap aja kita salah! Ya udah, kakak ke camp dulu, kamu terserah deh ngapain, tapi awas, jangan ngerusak pohon lagi!”
“Ia ia, aku tahu!”
Ayie menatap bibit yang sudah terkulai itu. “Belum rusak-rusak amat.” Desisnya lalu jongkok. Dipetiknya daun-daun yang setengah hancur kena injak kakinya tadi. Lalu dicobanya kembali menanam bibit itu. Menggemburkan tanah, lalu memasukkan kembali bibit itu ke dalam lubang. Ayie memadatkan tanahnya kembali.
“Hei pohon, tumbuh dong, jadilah pohon yang kuat, berdaun rindang, ya meski aku sempat melukaimu, ya maaf ya! Gak sengaja! Jangan marah! Itung-itung nolong 2 manusia yang sok romantic habis tadi. Katanya nasib cinta mereka tergantung kamu! Gak masuk akal sih, tapi tolong ya, tumbuh dengan baik!” Bisik Ayie sambil menepuk tanah di sekitar bibit pohon itu.
To be continue
Butterfly (Sebuah Metamorfosa) part I
“Fly, ayo dong bangun! Fly udah telat nih, kamu nggak mau nonton pertandingan Varel yang pertama!” Nathasya menggedor-gedor pintu kamar Fly.
“Aduh ganggu aja sih Nat, ada apa sih?” Fly keluar dengan wajah kusut dan rambut berantakan.
“
“Whatz? Astaga, aku lupa…! Tungguin Nat, aku cuci muka dulu!” Fly terlonjak dan langsung melesat menuju kamar mandi.
“Ih dasar jorok, cepetan Fly, kita udah telat nih!” teriak Nathasya.
Fly, Nathasya, Varelia, Milka, adalah empat sahabat. Nama Fly sebenarnya Felina, keluarganya memanggil dia Fe. Tapi berhubung dia suka sekali sama yang namanya kupu-kupu, teman-temannya menjuluki dia si Butterfly. Awalnya hanya ketiga sahabatnya yang memanggil dia dengan panggilan Fly, yang kemudian diikuti semua orang yang kenal dengan Fe. Fe asyik-asyik aja dijuluki si Kupu-kupu, asal jangan ditambahi akhiran malam saja,
Fly adalah anak kelas 1 SMA yang ceria, baik hati, namun emosinya gampang meledak. Fly juga sangat setia kawan, karena itu meski kadang nyebelin ketiga sahabatnya sayang sekali padanya. Fly itu anaknya moody habis. Kalau suasana hainya cerah begitu bangun pagi, bisa dipastikan satu hari itu Fly bakal menjalani hari dengan ceria. Tapi kalau begitu bangun pagi, suasana hatinya sudah hancur-hancuran, Warning: Jangan Dekati Fly!
Selain moody, sifat jelek Fly yang lain adalah anaknya ceroboh, pelupa, suka ngegampangin masalah, tapi terkadang suka juga bikin masalah tambah rumit. Ya Fly memang susah ditebak entah angin apa yang berhembus dihatinya, angin sepoi-sepoikah atau badai tornado, itu mungkin karena sifatnya yang moody. Fly tidak suka dandan dan sedikit tomboy, malah terkadang tak perduli dengan penampilannya.
Fly sangat suka membaca, terutama koMil detektif dan buku karangan Enyd Blyton dan Aghata Christie. Tempat favoritenya membaca bangku yang ada di taman kota. Fly bermimpi suatu saat nanti dia bisa jadi pengarang sehebat dan setenar dua pengarang idolanya itu. Sayang Fly lebih sering mimpi dari pada berusaha untuk meraih mimpinya itu.
Nathasya, atau yang lebih sering dipanggil Nat, adalah si centil sahabat yang paling dekat dengan Fly. Padahal secara sifat mereka berdua sangat beda. Nat sangat suka dandan, gak heran deh hampir setiap 10 menit, Nat selalu berkaca. Nat paling nggak tahan kalau melewati benda yang bisa memantulkan dirinya. Apalagi kalau melewati tempat parkir, Nat pasti menyempatkan diri berkaca di salah satu kaca mobil yang sedang parkir, atau bahkan di kaca spion sepeda motor orang. Tak jarang banyak kejadian konyol kalau Nat berkaca di tempat parkir. Nat hobby nyanyi, dia bermimpi jadi penyanyi terkenal. Penyanyi favoritenya Shania Twain, warna suaranya juga nggak jauh beda dengan penyanyi country itu. Tak seperti Fly yang lebih suka mimpi, Nat sering ikut perlombaan menyanyi, berharap ada pencari bakat yang melihatnya. Sayang prestasi terbesar Nat adalah menjadi juara III Lomba menyanyi Sekotamadya . Nat orangnya ceriwis dan lebih sering menilai sesuatu dari penampilan luarnya, tapi pada dasarnya dia anak yang baik dan sangat setia kawan.
Milka, pendiam, santai, lembut habis, dan nggak banyak bicara. Tapi sekali bicara ketiga temannya pasti menurut padanya. Apalagi kalau mereka mulai beda pendapat, Milka selalu punya solusi untuk jalan keluarnya. Bahkan kalau diantara mereka berempat ada yang bertengkar, Milka selalu dipilih jadi penengahnya, ketiga temannya menjuluki Milka Miss Peace Maker. Cita-citanya ingin jadi psikolog ternama, nggak heran Milka adalah tempat curhatan banyak orang, bukan hanya ketiga sahabatnya. Milka dijuluki tempat curhatan sejuta umat. Karena lembutnya kadang Milka juga dipanggil angel sama teman-temannya. Tapi jangan salah, kalau Milka sudah marah, siapapun tak berani padanya. Tapi Milka terlalu menjaga perasaan orang hingga terkadang mengabaikan perasaannya sendiri.
Varelia, anaknya tomboy habis, sanking tomboynya dia lebih suka dipanggil Varel, meski ibunya selalu memanggil dia Lia. Baginya panggilan Varel terdengar maskulin dan keren. Dia juga dikenal sebagai si Varel pemberontak, sulit mengontrol emosinya, kalau sudah marah selalu meledak-ledak. Meski begitu dia sangat setia kawan. Dia dan Fly selalu jadi sasaran kecerewatan Nat yang memang perduli sekali sama penampilan. Seperti Fly, dia juga tak suka dandan. Varel cinta mati sama bulutangkis. Pemain idolanya Susi Susanti. Varel bermimpi suatu saat dia bisa sehebat Susi Susanti. Untuk menggapai mimpinya dia masuk klub bulu tangkis yang ada di sekolah.
Hari ini pembukaan Pertandingan Bulu tangkis antar Sekolah. Nah hari ini Varel mewakili sekolahnya bertanding di Pertandingan Bulu Tangkis antar Sekolah.